Studium General Bimbingan dan Konseling: Suicide Prevention

(Rabu, 24/08). Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Yogyakarta menyelenggarakan Stadium General dengan topik “Developing and Implementing a Comprehensive School-Based Suicide Prevention Program” yang dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2022 di Abdullah Sigit Hall Fakultas Ilmu Pendidikan UNY. Kegiatan ini diperuntukkan bagi Mahasiswa Prodi S1, S2, dan S3 Bimbingan dan Konseling FIP UNY dan dimoderatori oleh Ibu Yuli Nurmalasari, M.Pd. selaku dosen prodi BK UNY. Stadium General ini bekerja sama dengan Ohio State University, United States dengan pembicara yang ahli dalam topik yang diangkat yaitu, Prof. Darcy Haag Garnello, Ph.D., LPCC-S as a Director of Suicide Prevention Program, dan Associate Professor. Paul Granello, Ph.D. as a Counselor Education.

Pembahasan mengenai Suicide berangkat dari data WHO bahwa terdapat satu juta orang bunuh diri di dunia tiap tahunnya. Ini menunjukkan dengan jelas bahwa bunuh diri merupakan sebuah Epidemik Internasional. Khususnya ketika pandemi menghampiri, tercatat terdapat 40% masyarakat Indonesia dilaporkan melukai diri (NSSI) atau memikirkan bunuh diri selama pandemi. Dan tingkat bunuh diri di kalangan remaja Indonesia adalah lebih dari 50% (2,5x lebih tinggi dari kelompok usia lainnya). Pada 2020, bunuh diri dan percobaan bunuh diri meningkat sebanyak 300%. Kriteria tertinggi pelaku bunuh diri di antaranya anak muda (15-24), tinggal di Jawa, perempuan, dan minoritas/anggota kelompok marginal. Keinginan dan atau pun tindakan bunuh diri juga berasal dari pengalaman akan kesepian dan keputusasaan. Selain itu, media sosial memiliki kaitan erat dengan tingginya tingkat depresi dan percobaan bunuh diri pada remaja Indonesia. Banyak sekali tindakan bunuh diri berkaitan dengan pesan-pesan di media sosial dan internet.

Tidak hanya anak muda, pandemi juga memberikan dampak jangka panjang pada anak-anak yang tentunya perlu perhatian khusus, mengingat dampak yang dihasilkan di antaranya mengalami ketertinggalan dalam hal bersosialisasi, stresor ekonomi pada keluarga, serta kemungkinan akan tinggal di rumah dengan orang dewasa yang cenderung kasar. Sebagaimana tingkat bunuh diri meningkat pada berbagai kalangan, maka pencegahan untuk anak-anak di sekolah seyogyanya menjadi fokus utama. Konselor sekolah/guru bimbingan dan konseling harus memahami bagaimana mengembangkan dan mengimplementasikan secara efektif program pencegahan bunuh diri di sekolah. Sekolah harus memiliki rencana dan konselor sekolah/guru bimbingan dan konseling harus menyiapkan diri untuk menempuh upaya ini.

Dr. Darcy dan Prof. Paul menyampaikan bahwa terdapat tiga tingkatan pencegahan bunuh diri yang bisa dilakukan, yaitu: 1) Universal (seluruh siswa di sekolah), 2) Strategis (siswa rentan sekitar 20%), dan 3) Intensif (siswa berisiko sekitar 3-5%). Pada tingkat Universal diperlukan edukasi dan advokasi pada siswa, dan yang terlibat dalam tingkatan ini adalah seluruh masyarakat sekolah (staf, guru, siswa, dan orang tua). Selanjutnya pada tingkatan kedua, intervensi strategis, diperlukannya pelaksanaan konseling individu maupun konseling kelompok kecil, konsultasi dan kolaborasi dengan guru-guru, dan melibatkan konselor sekolah/guru bimbingan dan konseling serta staf dan administrator terpilih. Kemudian pada tingkatan ketiga yaitu intervensi intensif, diperlukan manajemen krisis, merujuk pihak eksternal, dan reintegrasi untuk siswa kembali ke sekolah, tingkatan ini dipimpin oleh konselor sekolah bersama staf dan administrator terpilih. Namun, program pencegahan bunuh diri mengutamakan fokus pada pencegahan universal, yakni untuk seluruh siswa di sekolah. Komponen utama di sekolah berdasarkan program pencegahan bunuh diri universal ini di antaranya: 1) membuat tim, 2) melatih staf, 3) mengedukasi siswa, 4) membimbing orang tua, 5) mengikutsertakan teman sebaya siswa, 6) mengurangi stigma, 7) melakukan skrining siswa, 8) merujuk, 9) reintegrasi, 10) melakukan tindakan pasca-intervensi.

Dr. Darcy dan Prof. Paul menekankan satu pesan yang perlu diingat sebagai konselor sekolah/guru bimbingan dan konseling adalah, “Do Something.” Mengingat bahwa Indonesia saat ini tidak memiliki strategi pencegahan bunuh diri berskala nasional, media cenderung tidak mengikuti aturan pelaporan, mayoritas masyarakat kekurangan informasi (tidak ada pesan berskala nasional: ‘bunuh diri bisa dicegah’), dan tidak adanya spesifik gatekeeper pencegahan bunuh diri yang terlatih (bahkan belum diberlakukan). Dan universitas, adalah tempat dimana kita bisa melatih konselor masa depan untuk memulai dan mengupayakan tugas penting ini. Mari bersama menormalisasi dialog-dialog terkait bunuh diri, menguatkan satu dengan yang lain, menanyakan kondisi serta sepenuhnya mendengarkan, berjuang mematahkan stigma, dan apa pun hal yang mampu dilakukan, karena hampir seluruh dari kita tidak baik-baik saja. (Putri Milenia Gusdian).